PEKERJAAN SEBAGAI SEBUAH PANGGILAN
Kita semua saat beranjak dewasa pasti punya pekerjaan. Pekerjaan mengisi sebagian besar hari-hari kita. Kita mengisi hidup kita dengan bekerja. Kita memaknai hidup kita dengan bekerja. Setiap orang punya tujuan hidup. Kita tidak mau menjalani hidup hanya luntang-lantung tanpa arah dan tujuan. Kita tidak mau hari demi hari berjalan dengan sia-sia tanpa kita mengerjakan sesuatu atau menghasilkan sesuatu.
Kita dibekali potensi oleh Tuhan semenjak kita lahir. Kita ingin berkembang sebagai pribadi dan mengembangkan potensi-potensi. Kita ingin meningkatkan kemampuan. Kita ingin belajar ketrampilan-ketrampilan baru. Kita tidak ingin menjalani kehidupan yang sia-sia tanpa diisi oleh kegiatan yang bermakna. Kita ingin berkarya dan melakukan sesuatu. Menghasilkan sesuatu atau melakukan sesuatu yang dapat kita banggakan.
Pekerjaan biasanya sangat dipertalikan dengan nafkah. Pekerjaan dipertalikan dengan penghasilan. Pekerjaan kerap dinilai berdasarkan berapa jumlah uang yang dihasilkan oleh pekerjaan itu. Seorang tukang parkir yang mungkin hanya tamatan SD. Seorang tukang sampah atau pemulung yang mungkin tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Seorang tukang sapu jalanan yang mungkin buta huruf. Semuanya mengerjakan sesuatu yang berguna dan dengan itu memberi makna pada hidupnya. Mereka mengerjakan apa yang bisa dikerjakan. Mereka tidak punya pilihan, senang atau tidak dengan pekerjaan itu. Hanya itu lowongan dan kesempatan yang tersedia, maka mereka ambil, karena mereka butuh nafkah.
Mereka tidak punya kemewahan untuk mengambil jurusan di universitas yang sesuai dengan bakat dan minat. Bahkan ada dari mereka yang sudah harus bekerja mencari nafkah semenjak usia masih sangat muda. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Mereka tidak punya pilihan selain bekerja mencari nafkah, menghidupi anak dan istri. Tuhan memelihara mereka. Tuhan mencukupi kebutuhan mereka.
Kita yang berstatus sebagai karyawan. Karyawan Muda Katolik. Atau yang punya usaha sendiri. Sedang merintis usaha sendiri. Kita sebenarnya jauh lebih beruntung dari mereka. Kita bisa mengikuti pendidikan di bangku kuliah. Meski mungkin katakan saja, kita salah jurusan, karena ikut-ikutan teman. Kita masih lebih beruntung.
Kita mungkin mengerjakan pekerjaan yang tidak kita senangi, karena kita salah memilih jurusan. Namun bahkan ini pun masih lebih baik dibanding menganggur dan tidak punya pekerjaan dan penghasilan sama sekali. Butuh komitmen, disiplin, dan ketekunan untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak kita senangi, karena mungkin untuk saat ini, hanya kesempatan itu yang tersedia. Ibaratnya, “Masih lebih baik dapat tumpangan bis yang meski kita tidak dapat tempat duduk dan harus berdiri berdesak-desakan bahkan agak terhimpit oleh penumpang lain, daripada tidak dapat bis dan harus jalan kaki.”
Masih lebih baik jika kamu saat ini terpaksa melakukan pekerjaan yang tidak kamu sukai dan sebenarnya bukan di bidangmu. Pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan minatmu. Dan itu mungkin membuatmu menderita dan tertekan tiap hari, daripada kamu menganggur dan tidak punya pekerjaan dan penghasilan sama sekali.
Kita tidak selalu punya kemewahan untuk memilih pekerjaan yang kita senangi. Pilihan pekerjaan yang tersedia, suka atau tidak, harus kita ambil. Karena kita butuh nafkah.
Maka, mungkin pekerjaan tidak selalu berarti profesi. Seorang tukang becak, mungkin tidak pernah bercita-cita ingin jadi tukang becak. Seorang sopir truk mungkin tak pernah bercita-cita ingin menjadi sopir truk. Tapi hanya itu pilihan yang ada. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Harus ia ambil.
Meski meski tidak semua pekerjaan itu profesi. Pekerjaan bisa mengisi hidup kita dengan makna, meski kita tidak senang dengan pekerjaan ini. Idealnya pekerjaan sesuai dengan bakat dan minat kita, baru ini yang namanya profesi.
Profesi adalah jalan hidup. Profesi adalah panggilan hidup. Kita menekuni profesi yang sesuai bakat dan minat kita. Biasanya profesi kita sekarang berhubungan dengan sejarah masa kecil. Kita yang semenjak kecil suka membaca buku. Seorang kutu buku dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam membaca buku, sekarang mungkin berprofesi sebagai seorang penulis.
Jika sewaktu kecil kita senang menghabiskan waktu untuk memandangi langit malam. Melihat bintang-bintang yang bertaburan di angkasa, mungkin setelah besar kita berprofesi sebagai seorang astronom. Kita senang belajar tentang galaksi-galaksi dan susunan jagat raya. Atau mungkin juga jika kita suka memandangi langit malam dan mulai bertanya siapa diri kita dan mengapa kita hidup. Apa Tuhan itu ada? Apa arti kehidupan yang sesungguhnya, kita mungkin saat besar menjadi seorang filsuf.
Profesi kita sedikit banyak mempengaruhi cara pikir dan penghayatan kita tentang diri sendiri dan kehidupan.
Mungkin banyak orang punya pekerjaan, tapi tidak semua orang punya profesi. Mungkin kamu yang sekarang ini menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat minatmu, kamu tidak menjalani sebuah profesi. Karena kamu tidak bekerja sesuai passion.Apa pun yang menjadi pekerjaanmu sekarang, entah kamu suka atau tidak, jalani dengan segenap hati. Usahakan dan paksalah dirimu untuk menjalaninya setiap hari dengan pengabdian dan keseriusan. Syukuri pekerjaanmu itu, apa pun itu, karena mungkin sekali pekerjaanmu adalah pemberian dari Tuhan. Jika kamu memang beruntung, suatu hari kelak kamu mungkin bisa melakukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minatmu. Sesuai dengan passion-mu. Namun untuk sementara ini, jalani saja apa yang ada dengan syukur dan dedikasi.
Santo Josemaria Escriva, sang pendiri kelompok Opus Dei, mengatakan bahwa setiap orang Katolik dipanggil menuju kekudusan. Dipanggilan untuk menjadi orang kudus. Panggilan menuju kekudusan ini diwujudkan sehari-hari dalam pekerjaan. Tepatnya: menguduskan diri lewat pekerjaan. Saat ini, kelompok Opus Dei sudah beranggotakan lebih dari 60 ribu orang dari berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Pesan santo asal Spanyol ini sederhana saja, “Kita dipanggil untuk menguduskan diri dalam situasi hidup kita, terutama dalam lingkup pekerjaan yang mengisi sebagian besar waktu hidup kita.” Menurut pandangannya, pekerjaan adalah sarana yang terjangkau bagi umat beriman untuk menguduskan dirinya.
Tidak apa jika menjalani pekerjaan yang monoton dan membosankan tiap hari, karena justru di sini terletak nilainya. Butuh komitmen, dedikasi dan pengorbanan. Butuh usaha dan perjuangan. Justru di pekerjaan yang monoton, membosankan, dan terasa biasa-biasa saja, kita dapat menjumpai Tuhan di situ.
Panggilan hidupmu ada dalam pekerjaanmu, apa pun itu. Panggilanmu adalah melakukan pekerjaanmu dengan sebaik-baiknya, atau setidaknya dengan baik. Jangan takut, Tuhan melihat pengabdianmu dan niatmu. Maka, jalani pekerjaanmu setiap hari dengan rasa syukur. Dengan sikap itu, kamu menggenapi panggilan Tuhan untuk hidupmu.
PANGGILAN HIDUP KARYA, KERJA/PROFEI
Manusia adalah makluk pekerja. Tanpa bekerja manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Maka apapun suatu pekerjaan, asalkan halal, orang akan merasa dirinya bernilai di hadapan sesamanya. Sebaliknya orang-orang yang berada di usia produktif namun tidak bekerja akan merasa rendah diri dalam pergaulan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman serta gaya hidup dewasa ini, makna dan nilai bekerja nampaknya telah bergeser. Bekerja dipahami secara sempit sebagai hal duniawi belaka. Kebanyakan orang tanpa sadar melihat makna bekerja sekadar mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di zaman yang semakin kompleks, makna dan nilai bekerja telah menyempit menjadi mengejar nilai ekonomis. Kepuasan dalam bekerja identik dengan kepuasan materialistik. Manusia bekerja tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing, namun untuk mengumpulkan modal. Modal dan uang dikejar demi uang itu sendiri dan tidak lagi mempertimbangkan kesejahteraan bersama (bonum commune). (Kerja pun bukan lagi demi pemenuhan kebutuhan hari ini, tetapi melampaui kebutuhan dan memiliki orientasi mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Bahkan demi mendapatkan hasil ekonomis seseorang mengabaikan nilai moral dalam bekerja dengan melakukan praktik ketidakjujuran. Kasus korupsi yang menggurita di Indonesia adalah contoh konkrit bagaimana orang bekerja mengumpulkan harta secara tidak jujur. Pergeseran kerja pun tampak dalam pilihan bekerja. Bekerja yang meningkatkan gengsi sekaligus meningkatkan hasil ekonomis yang banyak diburu. Demi mendapatkan pekerjaan itu, seseorang menghalalkan segala cara. Di dalam masyarakat pun tercipta pembedaan mana pekerjaan yang kelas satu dan mana pekerjaan yang kelas dua. Masyarakat kurang menghargai pekerjaan domestik atau pekerjaan biasa, seperti ibu rumah tangga, buruh dan petani, meskipun pekerjaan itu dijalani dengan penuh ketekunan dan pengorbanan.
“....Sumber pertama segala sesuatu yang baik ialah karya Allah sendiri yang menciptakan bumi dan manusia, serta mengurniakan bumi kepada manusia, supaya manusia dengan jerih-payahnya menguasainya dan menikmati buahhasilnya (bdk. Kej 1:28-29). Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia, supaya bumi menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan siapapun juga. Itulah yang menjadi dasar mengapa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Sebab berkat kesuburannya dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia,; bumi merupakan kurnia Allah yang pertama untuk menjadi sumber kehidupan baginya. Tetapi bumi tidak menghasilkan buah-buahnya tanpa tanggapan manusia yang khusus terhadap anugerah Allah, atau : tanpa kerja. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan kebebasannya menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi dirinya. Begitulah manusia menjadikan miliknya sebagian bumi yang diperolehnya denganbekerja. Itulah asal-mula milik perorangan. Sudah jelaslah ia terikat kewajiban untuk tidak menghalang-halangi sesamanya mendapat bagiannya dari kurnia Allah. Bahkan ia harus bekerja sama dengan mereka untuk bersama-sama menguasai seluruh bumi.....” (CA 31). |
Hadir pak, Steven Gusanto
BalasHapusokey. terimakasih
HapusHadir pak, Patrick Alexander
BalasHapusokey, mantap
HapusHadir pak, Sheren Valencia Anthoni
BalasHapusBaik Nak, Terimakasih
HapusHadir pak (Angelina S XII MIPA 2)
BalasHapushadir pak, Angela Catherina
BalasHapusbaik, terimakasih
Hapushadir pak, eklesia monang siagian
BalasHapusBaik, Terimakasih
Hapushadir pak, Angelica Felicia S.
BalasHapusBaik Nak,terimakasih
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKeren pak. hadir eunike pak
BalasHapuskeren pak, Lora ~ 12 MIPA 2
BalasHapus